Jumat, 16 April 2010

tata cara ngelmu sangkan paran

“Ingsun tojalining Dzat Kang
Maha Suci, Kang murba
amasesa, Kang kuwasa
Angandika Kun Fayakun mandi
sakucapingsun, dadi
saksiptaningsun, katurutan
sakarsaningsun, kasembadan
saksedyaningsun karana saka
Kodratingsun. Ingsun Dzating
manungsa sejati, saiki eling
besuk ya eling. Saningmaya
araning Muhamad , Sirkumaya
araningsun, Sir Dzat dadi sak
sirku, yaiku sejatining
manungsa, urip tan kena ing
pati,langgeng tan keno owah
gingsir ing kahanan jati, ing
donya tumeka jagad langgeng.
Ingsun mertobat lan nalangsa
marang Dzat ingsun dewe,
regede badaningsun, gorohe
atiningsun, laline uripingsun,
salahe panggaweningsun, ing
salawas lawase dosaningsun
kabeh sampurna saka
kodratingsun.”
“Ilmu iku kalakone kanthi laku”:
ilmu itu terlaksana karena dilakukan
di dalam perbuatan yang nyata.
Dalam konteks khasanah falsafah
Jawa, kata “ngelmu” menunjuk
pada ajaran hidup menuju
kesempurnaan diri pribadi. Ajaran
itu teori dan teori tidak akan
membawa manfaat apa-apa bila
tidak dipkraktekkan dalam hidup
sehari-hari.
Di dalam sebuah ajaran ada
perintah dan larangannya. Tujuan
perintah larangan adalah untuk
mendisiplinkan diri agar diri yang
sebelumnya “liar” menjadi “jinak”,
diri yang sebelumnya
memperturutkan keinginan “diri”/
ego/keakuan menjadi diri yang
bisa menurut dengan diri-Nya/
Ego-Nya.
Kenapa diri ini harus manut
dengan keinginan atau kehendak-
Nya? Ada sebuah analogi yang
gampang dicerna. Misalnya,
sebuah mobil BMW diciptakan dan
diproduksi oleh pabrik BMW di
Jerman. Pabrik sudah
mengeluarkan petunjuk
penggunaan, aturan perintah dan
larangan.
Pabrik tidak asl bikin petunjuk
penggunaan. Sang insinyurnya
sudah memiliki prediksi agar
mesin dan bodi mobil itu awet,
maka oli harus dignti saat mobil
sudah mencapai sekian kilometer.
Insinyur juga memiliki prediksi
bahwa usia efektif mobil tersebut
sekian tahun. Hingga mencapai
batas usia tertentu, maka mobil
akan digolongkan istimewa dan
menjadi barang antik.
Begitu pula manusia. Manusia
diciptakan oleh Tuhan dan Sang
Insinyur Manusia ini sudah
mengeluarkan buku panduan
lengkap, tata cara hidup dan
berkelakuan agar dipedomani
sebagai arahan hidup mulai o
tahun hingga semilyar tahun
mendatang.
Beda dengan benda yang “ada”nya
begitu sederhana. “Adanya”
manusia ini sungguh luar biasa.
Manusia diberikan kebijaksanaan
untuk menentukan masa
depannya sendiri sebelum dia
dilahirkan di dunia. Manusia diberi
kekuasaan-Nya untuk merancang
sendiri dia nantinya akan jadi apa,
akan kemana, apa tujuan
hidupnya. Ya, karena Tuhan Maha
Pemurah, maka manusia dijinkan
menjadi insinyur yang bebas
merancang dirinya sendiri.
Ruh yang merupakan “manusia
sejati” dan “sejatinya manusia” itu,
sebelum ada di dunia telah
merancang dirinya sendiri dengan
menulis di buku kitabnya masing-
masing. Tuhan hanya
memberikan kata “ACC” dan
membubuhkan “stempel” saja.
Tuhan pun menekankan bahwa
yang berlaku nanti di bumi adalah
hukum sebab akibat. Hukum
karma, sunatullah atau disebut
juga dengan hukum alam.
Jadi, salah bila dikatakan bahwa
adanya sial, bencana, bahaya,
ketidaksuksesan hidup itu karena
Tuhan. Tuhan tidak cawe-cawe
sama sekali. Itu murni urusan
manusia yang tidak paham dan
malah mungkin melanggar
pantangan hukum sebab akibat.
Keberhasilan dan kesuksesan
adalah akibat dari sebuah sebab.
Sebab keberhasilan/kesuksesan
adalah kerja keras. Untuk bekerja
keras butuh motivasi kerja yang
tinggi dan niat yang teguh. Tubuh/
Raga yang rajin bergerak mencari
rezeki yang halal, asalnya adalah
jiwa/batin yang tenang, nyaman
dan bahagia.
Kembali ke tema awal. Apa saja
tata cara ngelmu sangkan paran?
Di dalam khasanah Kejawen,
dalam buku “Cipta Brata
Manunggal” karangan Ki
Brotokesawa disebutkan laku yang
perlu dijalani:
1. Sabar, tawakal, tekun, dan
nrimo
2. Jaga kebersihan lahir batin
3. Olah raga
4. Olah nafas
5. Berpakaian yang pantas dan
bersih.
7. Olah cipta, banyak membaca
dan menggali ilmu
pengetahuan
8. Bekerja rajin
9. Sore hari belajar untuk
tambahan pengetahuan
10. Makan teratur dan higienis.
11. Minum air putih dingin pagi,
siang, malam
13. Istirahat selama 6 atau 8
jam sehari semalam.
14. Perasaan dan pikiran
terarah.
16. Tidak terlalu banyak bicara.
Tidak bicara kotor dan
berbicara seperlunya. Bila akan
tidur hendaklah instropeksi diri
sambil berdoa sebagaimana
yang tertera di kalimat
pembuka.
Dalam buku “Cipta Brata
Manunggal” juga dipaparkan
proses tingkat-tingkat manembah/
sembah kepada Gusti. Berikut
tingkatan itu:
A. SEMBAH RAGA yaitu tapaning
badan jasad kita. Tubuh, jasad
bergerak atas perintah batin. Batin
diperintah oleh dua unsur, baik
(nur Ilhiah) dan buruk (nar Iblis).
Agar tubuh disiplin, terarah dan
terkendali maka perlu dilatih.
Tingkatnya adalah syariat. Tubuh
tetap melakukan disiplin ibadah.
B. SEMBAHING CIPTA, di Islam
dinamai Tarekat, sembahnya hati
yang luhur. Untuk mencapai hati
luhur perlu kesadaran nalar (logika)
. Diperlukan olah nalar yang bagus
sesuai dengan prinsip-prinsip
logika. Tujuan sembah cipta
adalah mengerti akan
“ kasunyatan”. Ilmu pengetahuan
harus dikuasai agar memiliki
perbandingan baik dan buruk.
Kebijaksanaan akan lahir bila kita
mampu menekan dan
mengendalikan hawa nafsu.
Memahami Ilmu Ketuhanan
diperlukan syarat berupa cipta
yang bersih dari hawa nafsu dan
olah nalar yang mumpuni. Ilmu
Ketuhanan adalah ilmu yang
“ sangat halus” yang bisa ditangkap
dengan kegigihan memperhalus
batin dan mentaati prinsip-prinsip
berpikir yang lurus.
Tujuan dari sembah cipta itu
mengendalikan dua macam sifat:
angkara( yang menimbulkan
watak adigang, adigung, adiguna,
kumingsun dsb.) dan watak
keinginan mengusai akan
kepunyaan orang lain (kemelikan-
jw). Cipta yang bersih yaitu kalau
sudah bisa mengendalikan angkara
murka, Tandanya bila cipta sudah
“ manembah”, yaitu waspada
terhadap bisikan jiwa.
Jadi sembah itu intinya melatih
cara kerja cipta, dengan cara Tata,
Titi, Ngati ati, Telaten, dan Atul.
Atul adalah pembiasaan diri agar
mendarah daging menjadi
kebiasaan dan watak yang
akhirnya terbiasa mengetahui
sejatinya penglihatan (sejatine
tingal) yaitu Pramana, bisa
dikatakan sampai kepada jalan
sejati, yaitu penglihatan pramana
(tingal pramana).
Tanda sudah sempurna sembah
cipta adalah berda di dalam kondisi
kejiwaan sepi dari pamrih apapun.
Seperti tidak ingat apapun itu
pertanda sudah sampai batas,
yaitu batas antara tipuan dan
kenyataan (kacidran lan
kasunyatan – jw), jadi sudah ganti
jaman, dari jaman tipuan menjadi
jaman kenyataan.
Rasa badan ketiga (saka
penggorohan maring kasunyatan
Rasaning badan tetelu), wadag
astral dan mental tadi seketika tidak
bekerja. Disitulah lupa, tetapi masih
dikuati oleh kesadaran jiwa
(elinging jiwa), dan waktu itu
menjadi eneng, ening, dan eling.
Artinya eneng: diamnya raga,
Ening : heningnya cipta, Eling:
ingatnya budi rasa yang sejati.
C. SEMBAH JIWA. di Islam
dinamai Hakekat. Kalau sudah bisa
melaksanakan sembah cipta baru
bisa melaksanakan sembah jiwa.
Artinya: rasakan dengan
menggunakan rasa “kasukman”
yang bisa ditemui dalam eneng,
ening dan eling tadi. Tandanya
adalah semua sembah, panembah
batin yang tulus tidak tercampuri
oleh rasa lahir sama sekali.
Bila sudah melihat cahaya yang
terang tanpa bisa dibayangkan
tetapi tidak silau, pertanda telah
sampai kepada kekuasaan
“ kasunyatan”(kesejatian), yang
juga disebut Nur Muhamad, yaitu
tiada lain Cahaya Pramana sendiri,
karena dinamai pramana karena
cahayanya yang saling bertautan
dengan rasa sejati dan budi, disitu
rasa jati dan budi akan berkuasa
(jumeneng), sudah sampai kepada
kebijaksanaan. Artinya
kebijaksanaan merasa sampai
mengerti yang melakukan semadi
tadi, saling berkaitan tak
terpisahkan dengan cahaya yang
terang benderang yang tidak bisa
dibayangkan.
D. SEMBAH RASA, di Islam
dinamai Makrifat. Sembah rasa itu
adalah mengalami Rasa Sejati.
Inilah rasa manusia yang paling
halus, tempat semua rasa dan
perasaan dan bisa merasakan
perlunya menjadi manusia yang
berbudi luhur dan menyadari
bahwa dia adalah pribadi yang
merupakan Wakil-Nya. Bahkan
pada tahap akhir pemahaman
makrifat, dia akan “menjadi” Tuhan
itu sendiri (Gusti amor ing Kawulo)
. Rasa hidup adalah rasa Tuhan,
rasa Ada, ya diri pribadi, bersatu
tanpa batas dengan rasa semua
ciptaan Nya. Tanda bila sudah
mencapai kasunyatan, sudah
hilang ilah-ilah yang lain hingga
sampai mencapai TAUHID MURNI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar