Selasa, 13 April 2010

kamboja bergoyang

Bukit-bukit akhir sebuah pandang
bisu. Kabut yang ditiupkan angin
bertebaran hancur membuat
angkasa satu warna. Di langit seribu
muka bergadha dalam iringan keok
gagak hitam berkibaran.
Tanda jarum kapankah bila aku
tinggal cuma punguti mimpi
bersamamu. Tanda tunjuk manakah
bila sepanjang kenang lalu
bersamamu kini buntu kaki.
Pernah kau katakan betapun terasa
kita punya letih tak bakalan terminal
memberi henti seterusnya. Itu
hanya istirahat, dimana ancang
ancang
karena seribu jalan lagi telah
menghadang. Dan kita diharuskan
buati
sejarah jejak-jejak.
Kita mesti bermarathon. Itu katamu
ketika justru dokter membisu
sambil hanya gelengan kepala tak
yakin pada dirinya. Kitamesti berlari
kencang. Itu katamu ketika justru
nafasmu pendek menipis di paru-
paru.
Kamboja bergoyang usai
pemakaman. Aku melihatmu berlari
kemenangan. Aku melihat duduk
senyum manismu di warung
minum apa terminal mana. Aku
melihatmu begitu ayu dalam buaian
angin semilir ketika hendak siapi
titian jembatan shirootholmustaqim.
Iklaskanlah aku ya, sajadahmu.
Ikhlaskanlah aku ya, jilbabmu.
Ikhlaskanalh aku ya, lapang dadamu
di setiap kau hadapi persoalan
malam ku. Sabarmu tak ada henti di
sewotku.
Kamboja bergoyang usai
pemakaman. Aku kembali dalam
getar sadar
kemiskinan. Aku kembali sambil
kupunguti topeng topengku yang
bergantungan di jalur langit. Aku
hitung itu semua. Kubakar
selekasnya. Aku menangis.
Izinkanlah aku mandi di pancuran
fitrahku.
Lewat air mataku. Lewat sajadah
tinggalanmu. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar