Jumat, 16 April 2010

konsep ngelmu dan lelaku

Salah satu wujud dan sifat khas
masyarakat Jawa adalah bersikap
prihatin dengan mengutamakan
lelaku. Mengutamakan lelaku disini
bertujuan untuk menuju kepada
jalan makrifat mencapai
‘Jumbuhing Kawula lan Gusti’.
Ajaran kejawen tentang thalabul ilmi
atau tentang menuntut
‘ ngelmu dan lelaku’ dapat kita
jumpai dalam ‘Serat Wedhatama’
karangan Sri Mangkunegara IV,
Pupuh II – tembang Pucung, bait
pertama yang berbunyi :
Ngelmu iku, kelakone kanthi laku
Lekase lawan kas, tegase kas
nyantosani
Satya budya pangekese dur angkara
Terjemahannya :
Ilmu itu, harus diperoleh melalui
laku (belajar)
Dalam belajar niatnya harus kuat &
mantap
Sabar tawakal untuk
menghancurkan sifat angkara
murka
Jika ajaran diatas diterapkan dalam
kehidupan nyata maka
mengandung makna bahwa
untuk mencapai kesuksesan dan
kesejahteraan hidup, entah itu dalam
hal material
maupun spiritual diperlukan sebuah
dasar pondasi yang kuat dan kokoh,
kemudian harus
memahami dasar ilmu tersebut baik
secara teoritis maupun aplikatif
melalui praktik (lelaku)
dalam kehidupan riil.
Pondasi yang kuat diatas
digambarkan sebagai kekuatan jiwa
yang memiliki daya
hangngedab-edabi (dahsyat) sebagai
wujud semangat makaryo (bekerja)
untuk berusaha
memenuhi kebutuhan hidup. Selain
itu juga diimbangi dengan semangat
pengabdian
yang tulus untuk manembah artinya
menjalani aktivitas ibadah
keagamaan (hablum
minallah), lelaku spiritual & ritual
budaya.
Konsep keseimbangan tersebut juga
berlaku sebagai dasar falsafah hidup
orang jawa, Jika
orang Jawa mengenal konsep :
‘ Narimo ing Pandum’ (menerima
takdir Illahi) bukan berarti
dalam memenuhi kebutuhan hidup
cukup dengan bermalas-malasan
dan ibarat
menunggu rezeki yang turun dari
langit saja, artinya bahwa orang
Jawa pada umumnya
memiliki sikap prihatin dan etos
kerja yang kuat untuk terus
berusaha makaryo nggayuh
kamulyaning gesang ndonya
akherat.
SIKAP LAKU PRIHATIN
Sikap hidup orang Jawa yang
diwarisi dari leluhurnya terjelma
didalam lelaku dan
usahanya untuk mencapai
keselamatan dan kesejahteraan
hidup. Sikap hidup yang
demikian itu tampak dan
diwujudkan sebagai sikap ‘prihatin’,
yang intinya sikap hidup
yang sederhana tidak berfoya-foya
menghamburkan waktu & uang
atau melampiaskan
hawa nafsu untuk mendapatkan
kenikmatan semu yang sementara
saja.
Orang yang prihatin bukan berarti
selalu bersedih-sedih, tidak
menikmati hidup, senantiasa
berpuasa, bersemedi, tetapi prihatin
berarti bersikap, berpikir dan
bertindak dengan penuh
kesederhanaan, sesuai dengan
kemampuan & kompetensi masing-
masing.
Ajaran keprihatinan mengandung
unsur kesederhanaan yang
senantiasa terjelma dalam
tatanan kehidupan tradisi, budaya
dan spiritual kejawen. Dengan
prinsip keprihatinan dan
kesederhanaan tersebut setiap orang
pasti akan dapat mencapai sesuatu
yang maksimal
sesuai dengan tolok ukur dan
kemampuan masing-masing
pribadi, tidak dengan tolok
ukur orang lain terutama untuk
sesuatu yang sifatnya berlebihan
dibandingkan dengan
kemampuan pribadinya. Sikap laku
prihatin diatas sejalan dengan sikap
yang selalu
bersyukur dan ikhlas menerima
setiap karunia Illahi.
Ajaran tentang lelaku dan ngelmu
kejawen juga menunjukkan konsep
kesederhanaan
dalam berpikir dan berbuat, intinya
sebaiknya kita tidak memimpikan
menggapai bintang
dilangit, tetapi hendaknya meraih
saja apa yang mampu kita raih,
yaitu belajar ngelmu
yang bermanfaat dan mampu
menjadi bekal hidup dan sarana
untuk mencapai
keselamatan dan kesejahteraan
hidup di dunia dan alam
kelanggenggan nantinya.
SIKAP ELING LAN WASPADA
Sarana utama untuk dapat mencapai
ilmu makrifat, maka seseorang
harus melandasi
dirinya dengan sikap : eling,
waspada, mbekas kahardaning
driya. Pujangga besar R.
Ranggowarsito dalam Serat
Kalatidha, bait ke-7 Tembang Sinom
menyatakan :
Amenangi jaman edan, Ewuh Oyo
ing Pambudi
Melu edan ora tahan, yen tan melu
anglakoni,
Boya kaduman melik, kaliren
wekasanipun
Dilalah kersaning Allah, Sak begja-
bejane wong kang lali
Luwih begja wong kang eling lan
waspada.
Terjemahan bebas :
Suatu hari nanti akan datang jaman
edan yang serba sulit dalam
menjalani hidup
Kebanyakan orang akan menjadi
‘ gila/lupa diri’ karena tak tahan
menghadapi godaan,
sebab kalo nggak ikut2an gila maka
mereka nggak akan mendapat
bagian dan mereka
merasa was-was ketakutan akan
berakhir tragis dengan mati
kelaparan. Orang2 yang ‘gila/
lupa diri’ ini tak akan segan dan
sungkan melakukan manuver licik,
sadis dan bengis
menindas sesamanya (korupsi,
manipulasi, kolusi, nepotisme, dll),
mereka akan
menghalalkan segala cara untuk
mewujudkan ambisi dan
memuaskan hawa nafsunya.
Tetapi sesungguhnya takdir dan
kehendak Allah akan membuktikan
bahwa sebahagia-
bahagianya orang yang ‘gila/lupa
diri’ tidak akan sebahagia orang
yang selalu eling ‘ingat’
dan waspada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar